Jadikanlah Sekolah sebagai Taman yang Menyenangkan
Ingat sekolah Taman Siswa, ingat juga kepada tokoh pendidikan yang satu ini yaitu Ki Hadjar Dewantara. Bukan tanpa alasan Ki Hadjar Dewantara menggunakan istilah “Taman” sebagai konsep pendidikannya. Taman berarti sebuah tempat bermain. Teduh, tenang, dan tentunya menyenangkan. Anak-anak senantiasa gembira berada di taman. Mereka dengan senang hati menghabiskan waktu di taman. Ki Hadjar ingin konsep pendidikan seperti sebuah taman. Pendidikan haruslah menyenangkan, belajar adalah proses kegembiraan.
Ketika lonceng sekolah berbunyi semestinya sebuah tanda dimulainya kegembiraan. Lalu ketika lonceng pulang berbunyi anak-anak akan enggan untuk pulang karena ia tidak ingin kesenangannya berhenti.
Ikhtiar untuk mendorong pendidikan sebagai sebuah kegembiraan itu terus kita dorong bersama. Salah satu masalah yang timbul selama ini adalah pendidikan terasa seperti sebuah penderitaan. Ketika menemui guru dan murid mereka mengeluhkan beberapa hal yang tentunya ingin kita bereskan bersama-sama.
Salah satu kabar yang kerap muncul adalah soal ujian nasional (UN). Beragam pendapat muncul mengenai UN. Pendapat tersebut tentu patut kita dengarkan karena pendidikan adalah tanggung jawab setiap orang.
Dalam sebuah kunjungan ke SMA Negeri 89 Rempoa, Jakarta Selatan, beberapa siswa memaparkan masalah dan solusi yang mereka hadapi dari perspektif mereka. Anak-anak kita ini memaparkan tentang Kurikulum, UN, dan banyak hal lainnya. Masukan mereka sangat menarik. Masukan ini sangat berharga karena hadir langsung dari peserta didik yang merupakan pengguna utama dari apa yang akan dan telah kita kerjakan.
Masukan dari peserta didik, guru, kepala sekolah, praktisi pendidikan bersama dengan Tim Evaluasi UN menjadi dasar pertimbangan keputusan mengenai UN. Belum lama ini keputusan tersebut telah kita ambil.
Melalui keputusan itu kita ingin mengubah UN (Ujian Nasional) dari sekadar alat atau vonis untuk menilai, menjadi UN sebagai alat belajar. UN kini tidak lagi menentukan kelulusan peserta didik. Kelulusan ditentukan sepenuhnya oleh sekolah. Kita menyadari bahwa sekolahlah yang paling memahami para peserta didiknya.
Salah satu yang mencuat dari UN (Ujian Nasional) selama ini adalah efeknya yang membuat perilaku teaching to the test. Guru dan peserta didik memfokuskan pembelajaran hanya untuk mengerjakan ujian semata, tentu ini yang ingin kita ubah. Kita ingin UN bukan hanya menunjukkan hasil belajar melainkan juga sebagai bagian dari proses belajar.
UN (Ujian Nasional) sebagai bagian dari proses belajar tentu harus memiliki fungsi untuk perbaikan kualitas pembelajaran di kelas. Salah satu fungsi penting itu adalah fungsi UN (Ujian Nasional) sebagai pemetaan capaian dari peserta didik.
Selama ini yang terjadi sistem penilaian UN (Ujian Nasional) hanya berisi mata pelajaran dengan angka-angka. Angka-angka ini harus ditafsirkan untuk perkembangan kualitas pembelajaran. Ke depan misalnya dalam pelajaran matematika maka peserta didik tak hanya tahu ia mendapatkan nilai tertentu, melainkan mengetahui kemampuannya di bidang trigonometri, logaritma, dan bidang-bidang lainnya, sehingga peningkatan kapasitas bisa kita lakukan bersama.
Beragam ikhtiar untuk perubahan fungsi UN (Ujian Nasional) ini tentu kita maksudkan sebagai upaya peningkatan kualitas pendidikan. Lebih dari itu kita menginginkan ikhtiar perubahan ini tidak hanya berfungsi untuk meningkatkan kualitas pendidikan tapi mengutip Ki Hadjar, menjadikan sekolah dan pendidikan sebagai sebuah taman.
Pendidikan yang bisa menghadirkan sebuah kegembiraan bagi para pelakunya. Sehingga kelak ketika bel sekolah berbunyi anak-anak kita akan hadir dengan senyum lebar menghiasi wajahnya.
Ketika lonceng sekolah berbunyi semestinya sebuah tanda dimulainya kegembiraan. Lalu ketika lonceng pulang berbunyi anak-anak akan enggan untuk pulang karena ia tidak ingin kesenangannya berhenti.
Ikhtiar untuk mendorong pendidikan sebagai sebuah kegembiraan itu terus kita dorong bersama. Salah satu masalah yang timbul selama ini adalah pendidikan terasa seperti sebuah penderitaan. Ketika menemui guru dan murid mereka mengeluhkan beberapa hal yang tentunya ingin kita bereskan bersama-sama.
Salah satu kabar yang kerap muncul adalah soal ujian nasional (UN). Beragam pendapat muncul mengenai UN. Pendapat tersebut tentu patut kita dengarkan karena pendidikan adalah tanggung jawab setiap orang.
Dalam sebuah kunjungan ke SMA Negeri 89 Rempoa, Jakarta Selatan, beberapa siswa memaparkan masalah dan solusi yang mereka hadapi dari perspektif mereka. Anak-anak kita ini memaparkan tentang Kurikulum, UN, dan banyak hal lainnya. Masukan mereka sangat menarik. Masukan ini sangat berharga karena hadir langsung dari peserta didik yang merupakan pengguna utama dari apa yang akan dan telah kita kerjakan.
Masukan dari peserta didik, guru, kepala sekolah, praktisi pendidikan bersama dengan Tim Evaluasi UN menjadi dasar pertimbangan keputusan mengenai UN. Belum lama ini keputusan tersebut telah kita ambil.
Melalui keputusan itu kita ingin mengubah UN (Ujian Nasional) dari sekadar alat atau vonis untuk menilai, menjadi UN sebagai alat belajar. UN kini tidak lagi menentukan kelulusan peserta didik. Kelulusan ditentukan sepenuhnya oleh sekolah. Kita menyadari bahwa sekolahlah yang paling memahami para peserta didiknya.
Salah satu yang mencuat dari UN (Ujian Nasional) selama ini adalah efeknya yang membuat perilaku teaching to the test. Guru dan peserta didik memfokuskan pembelajaran hanya untuk mengerjakan ujian semata, tentu ini yang ingin kita ubah. Kita ingin UN bukan hanya menunjukkan hasil belajar melainkan juga sebagai bagian dari proses belajar.
UN (Ujian Nasional) sebagai bagian dari proses belajar tentu harus memiliki fungsi untuk perbaikan kualitas pembelajaran di kelas. Salah satu fungsi penting itu adalah fungsi UN (Ujian Nasional) sebagai pemetaan capaian dari peserta didik.
Selama ini yang terjadi sistem penilaian UN (Ujian Nasional) hanya berisi mata pelajaran dengan angka-angka. Angka-angka ini harus ditafsirkan untuk perkembangan kualitas pembelajaran. Ke depan misalnya dalam pelajaran matematika maka peserta didik tak hanya tahu ia mendapatkan nilai tertentu, melainkan mengetahui kemampuannya di bidang trigonometri, logaritma, dan bidang-bidang lainnya, sehingga peningkatan kapasitas bisa kita lakukan bersama.
Beragam ikhtiar untuk perubahan fungsi UN (Ujian Nasional) ini tentu kita maksudkan sebagai upaya peningkatan kualitas pendidikan. Lebih dari itu kita menginginkan ikhtiar perubahan ini tidak hanya berfungsi untuk meningkatkan kualitas pendidikan tapi mengutip Ki Hadjar, menjadikan sekolah dan pendidikan sebagai sebuah taman.
Pendidikan yang bisa menghadirkan sebuah kegembiraan bagi para pelakunya. Sehingga kelak ketika bel sekolah berbunyi anak-anak kita akan hadir dengan senyum lebar menghiasi wajahnya.
![]() |
Penerapan Gerakan Sekolah Menyenangkan |
Penerapan Gerakan Sekolah Menyenangkan
Berikut rekaman wawancara antara sbs dengan founder Gerakan Sekolah Menyenangkan Muhammad Nur Rizal, Ph.D terkait perkembangan penerapan konsep sekolah menyenangkan yang telah menghasilkan perubahan-perubahan di sekolah, seperti setting kelas, pelibatan secara aktif siswa, model belajar, dll.
Berikut rekaman wawancara antara sbs dengan founder Gerakan Sekolah Menyenangkan Muhammad Nur Rizal, Ph.D terkait perkembangan penerapan konsep sekolah menyenangkan yang telah menghasilkan perubahan-perubahan di sekolah, seperti setting kelas, pelibatan secara aktif siswa, model belajar, dll.
Rekaman
Dalam wawancara tersebut Muhammad Nur Rizal menjelaskan bahwa sekolah yang tergabung dalam jejaring GSM dapat dipantau/didampingi perubahannya melalui forum kunjungan di sekolah-sekolah dan juga forum group di WhatsApp (WA).
Kita menggunakan teknologi, karena kita pahami bahwa teknologi bisa melakukan penetrasi untuk media sosial baru. Dalam hal ini sekolah-sekolah, sehingga pendampingan yang kita lakukan kita diundang biasanya oleh sekolah itu untuk melihat dan mengunjungi perubahan-perubahan yang dilakukan kemudian kita memberikan masukan-masukan terhadap perubahan yang terjadi, itu pertama secara fisik.
![]() |
Contoh yang dilakukan anak-anak di SD Negeri Tiimbulharjo di Yogyakarta dimana kelas mereka didesain untuk memiliki ruang bergerak dan berkolaborasi dalam sebuah project |
Yang kedua dengan teknologi kita punya group WA yang kemudian kita dorong mereka men-sharing kan / meng-upload kan perubahan yang terjadi. Misalnya, ada sekolah yang tidak punya atap di kelasnya, kemudian anak-anak dan guru menaruh hasil kreasi project anak-anak di pojok-pojok kelas ataupun digantung di ruang ruang kelas yang tidak beratap. Kemudian mereka membuat target belajar sendiri. Mereka membuat bagaimana membuat anak-anak itu dibangun literasinya, dan banyak perubahan-perubahan lainnya. Dan itu kemudian menginspirasi sekolah-sekolah lain yang belum bergerak berubah untuk kemudian berubah.
![]() |
Contoh setting kelas SD N Karangmloko 2 beserta pajangan hasil karya anak di dinding kelas |
Pendekatan kita , apresiasi inquiry approach, yakni kita mengapresiasi perubahan-perubahan yang terjadi dengan cara menselebrasi merayakan yang kemudian perubahan itu kita viralkan agar menjadi momentum perubahan yang besar. Jadi yang belum berubah tidak kita hukum, tidak kita coret dari sekolah jejaring, tapi kita tunggu untuk kita sadarkan bahwa ada komitmen (Muhammad Nur Rizal).
![]() |
Contoh MI Muh Pengkol saat siswa memajang hasil karyanya di ruang-ruang atap |
Untuk tanggapan siswa sendiri siswa merasa senang ketika ulangan diganti dengan projek tematik. Karena siswa lebih aktif dilibatkan, suasana lingkungan kelas sudah berubah sehingga lebih senang.
Marilah kita ciptakan secara bersama-sama agar sekolah menjadi tempat semua warga sekolah yang menyenangkan.
Sumber : http://www.sekolahmenyenangkan.org
Comments
Post a Comment